Email : suhu@ymail.com ; suhu@rocketmail.com

Foto saya
Surabaya, East Java, Indonesia
Designer Database dan pecinta tehnologi yang Qur'ani

Senin, April 28, 2008

Kitab Kuning dan Kekerasan

(Tanggapan terhadap Hasil Penelitian UIN)
Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa sejumlah kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren banyak mendukung tindakan kekerasan atas nama agama. Penelitinya mencontohkan, ada kitab kuning yang membolehkan orang tua memukul anaknya yang tidak shalat. Selain itu, ajaran jihad yang termuat dalam kitab kuning juga dianggapnya sebagai ajaran kekerasan (Republika, 28/7).
Ada sejumlah hal yang perlu dikritisi dari hasil penelitian ini. Pertama, indikator yang dijadikan sebagai kriteria kekerasan dalam penelitian ini cenderung mengalami bias. Yaitu kekerasan yang mengacu pada perspektif peneliti semata. Memukul anak usia di atas sepuluh tahun menurut peneliti adalah kekerasan. Padahal bagi umat Islam hal ini justru merupakan bentuk pendidikan karena memukul dalam masalah ini berbeda dengan kasus pemukulan tentara AS terhadap tawanan di penjara Abu Graib atau Guantanamo misalnya. Pemukulan terhadap anak dilandasi oleh rasa cinta dan sayang, yaitu rasa cinta agar pada diri anak tidak tumbuh benih-benih pemahaman dan sikap liberal. Sedangkan pemukulan di Abu Graib dan Guantanamo dilandasi oleh kebencian dan kedzaliman yang membara.
Rasulullah Saw mengajarkan bahwa pemukulan terhadap anak yang tidak shalat tersebut adalah pemukulan yang tidak membekas dan tidak menyakitkan, tetapi sekedar memberikan gambaran kepada anak bahwa melanggar kewajiban itu akan ada sanksinya di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. Ini justru menjadi pelajaran sangat berharga bagi anak di kemudian hari agar selalu bertanggung jawab terhadap segala amanah yang dipikulnya.
Kedua, persoalan yang sama juga terjadi pada masalah jihad. Menurut peneliti jihad adalah satu bentuk kekerasan yang berkonotasi negatif. Tetapi bagi perspektif Muslim jihad dalam konteks perang adalah suatu bentuk kekerasan yang berkonotasi positif. Sebab jihad dalam perspektif Islam digunakan semata-mata untuk menjaga ketinggian kalimat Allah dari segala penghalang atau ancaman fisik. Rasulullah Saw telah mengajarkan 'kekerasan' dalam meninggikan kalimat Allah ini dari ancaman orang-orang dzalim haus darah seperti di perang Badar atau Uhud misalnya. Bandingkan dengan Presiden AS, George W Bush, dan PM Israel, Ehud Olmert, yang 'mengajarkan' pasukannya untuk berpesta dengan darah warga sipil yang lemah di Gaza dan Qana Libanon.
Ketiga, penelitian ini tampaknya hanya sebagai sarana ilmiah untuk 'menggebuk' citra umat Muslim, khususnya pesantren. Kalau mereka murni untuk menyoroti kekerasan, semestinya bukan kitab kuning yang diteliti tetapi justru 'kitab' yang dibaca oleh Bush atau Olmert. Obyek penelitian PPIM ini tampak terlalu dipaksakan, mereka lebih memilih obyek kekerasan dalam pembelajaran shalat pada anak-anak - tentu dengan biaya survei ratusan juta rupiah - tapi mengabaikan parade kekerasan yang sangat telanjang, mulai dari Guantanamo, Afghanistan, Irak, Gaza, hingga Bint Jbail dan Qana di Libanon.
Kekerasan Barat di bawah pimpinan AS sudah sangat nyata aksi terorismenya di dunia Islam. Sehingga seyogyanya dapat menjadi obyek penelitian yang menarik apabila menghubungkannya dengan buku atau 'kitab putih' yang dibaca mereka. Sangat banyak buku-buku seperti itu yang ditulis oleh para ilmuwan politik AS. Sebagai contoh, Gergez menceritakan bahwa Amos Perlmutter pernah menulis di Washington Post dengan judul artikel 'Wishful Thinking About Islamic Fundamentalism'. Inti dari artikel itu menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah gerakan revolusioner yang agresif, sama militan dan kejamnya dengan gerakan Bolshevik, Fasis, dan Nazi di masa lalu. Dia merekomendasikan kepada AS untuk melakukan berbagai tindakan yang memastikan gerakan Islam dilumpuhkan sejak lahir (Gergez, America and Political Islam, 1999). Ini sebuah rekomendasi ril untuk melakukan aksi kekerasan berupa terorisme negara terhadap umat Muslim.
Namun, tentu tidak mudah untuk mendapatkan dana penelitian dari lembaga-lembaga internasional seperti Asia Foundation, Heritage Foundation, Rand Corporation, dan semacamnya, apabila penelitiannya berkaitan dengan penelanjangan terhadap rusaknya kebijakan luar negeri AS, khususnya di dunia Islam. Belum ada informasi yang jelas, apakah penelitian PPIM ini dibiayai oleh lembaga-lembaga semacam itu.
Mencermati Agenda Negatif
Kalau logika penelitian PPIM ini dilanjutkan, maka akhirnya Al Quran dan Hadits - dua sumber utama pemahaman Islam - juga akan disebut sebagai kitab yang menganjurkan kekerasan. Karena kitab kuning yang dikaji di pesantren pada dasarnya merupakan buku hasil pemikiran ulama-ulama terdahulu mengenai kandungan Al Quran dan Hadits. Diantara ayat-ayat Al Quran dan Hadits banyak yang memberikan penjelasan yang rinci mengenai jihad dalam makna perang. PPIM tampaknya masih belum berani untuk menuding Al Quran dan Hadits sebagai sumber kekerasan, sehingga kitab kuninglah yang dijadikan sebagai sasaran antara.
Memang sangat efektif untuk memojokkan umat Islam melalui pengopinian negatif terhadap pesantren. Karena pesantren tidak hanya berkaitan dengan lembaganya saja tetapi juga menyangkut tentang pemahaman seperti apa yang diajarkan. Upaya memojokkan pesantren telah berulang kali dilakukan, sehingga terkesan sangat kuat bahwa dibalik semua itu ada agenda besar yang disembunyikan. Beberapa waktu yang lalu, pejabat teras di negeri ini telah melontarkan gagasan untuk melakukan pengawasan terhadap pesantren. Karena menurut penilaiannya, beberapa pesantren telah mengajarkan pemahaman ektrim sehingga para santrinya terinspirasi untuk melakukan aksi terorisme
Sudah menjadi keharusan bagi setiap lembaga pendidikan Islam untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai Islam kepada para peserta didiknya. Baik menyangkut persoalan pola fikir ('aqliyah) maupun pola sikap (nafsiyah). Sehingga mereka dapat memiliki daya tangkal yang cukup untuk menolak berbagai provokasi yang pada hakikatnya berusaha memojokkan Islam dan kaum Muslim melalui berbagai aksi terorisme.
Namun perlu dicermati bahwa aksi terorisme di Indonesia ini tidak terlepas dari aksi terorisme yang menimpa kaum Muslim di berbagai tempat di dunia. Secara jujur perlu kita sadari bahwa salah satu akar penyebab semua bentuk kekerasaan ini adalah tindakan negara-negara imperialis Barat seperti AS, Inggris dan sekutunya yang menindas umat Islam di berbagai belahan dunia. Dari berbagai alasan yang dinyatakan oleh para pelaku kekerasan yang berupa teror bom di Indonesia, bahwa penjajahan AS dan sekutunya di Irak dan Afghanistanlah yang telah mendorong mereka untuk melakukan 'jihad'.
Meskipun demikian, kita juga menyadari bahwa pemahaman tentang jihad ini ada yang tepat ada pula yang keliru. Jihad yang dilakukan di Irak, Afghanistan, Palestina, dan Libanon adalah sesuai dengan syara', sebab penjajah telah secara langsung membunuh rakyat sipil secara keji. Sementara berbagai pemboman di Indonesia yang mengorbankan rakyat sipil yang tidak bersalah adalah bentuk pemahaman jihad yang keliru.
Prof. Noam Chomsky (2001) menyimpulkan bahwa AS dan Israel adalah teroris terkemuka saat ini. Tetapi dunia seakan menutup mata dan telinga terhadap semua itu. Chomsky menyatakan bahwa serangan AS ke Afganistan yang telah menewaskan 6000 warga sipil (dua kali lipat korban WTC) lebih jahat daripada serangan 11 September 2001. Bahkan menurut Iraqi Body Count sudah sekitar 25.000 yang terbunuh dalam perang Irak. Belum lagi kasus kebiadaban Israel di Gaza dan Libanon yang didukung penuh oleh AS.
Karena itu, memang harus diakui bahwa ada kelompok Islam yang melakukan atau mendukung aksi kekerasan berupa terorisme di Indonesia. Namun harus diakui pula bahwa sesungguhnya itu muncul sebagai reaksi terhadap tindakan kekerasan yang menimpa umat Islam di dunia. Hal ini penting supaya masyarakat umum mengetahui bahwa aksi kekerasan/terorisme di Indonesia tidak terlepas dari terorisme negara yang dilakukan negara-negara Barat di negeri-negeri Islam seperti di Irak, Afghanistan, dan Palestina. Jadi, penyelesaian secara tuntas aksi kekerasan/terorisme di Indonesia tidak bisa mengabaikan realitas kebrutalan dan kebiadaban AS dan sekutunya di Irak dan Afghanistan serta kekejian Israel di Libanon yang terus berlangsung hingga detik ini.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
[LS-HTI]

Tidak ada komentar: