Email : suhu@ymail.com ; suhu@rocketmail.com

Foto saya
Surabaya, East Java, Indonesia
Designer Database dan pecinta tehnologi yang Qur'ani

Jumat, Januari 25, 2008

Segelas Beras untuk Berdua


ARANG! Pada bahan bakar inilah hidup Mbah Setrowikromo berkisar. Hanya aranglah yang mengatur irama hidupnya. Hanya aranglah yang memberinya rezeki. Hanya pada arang pula ia menumpukan harapannya.

MBAH Setro buta huruf. Ia tak tahu berapa umurnya. Yang ia tahu, pada zaman Belanda dulu ia sudah menjual arang, 4 sen harganya sekeranjang. Sekarang ia juga masih berjualan arang, sekeranjang harganya Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Sejak zaman Belanda, selama puluhan tahun, ia selalu menjalankan irama hidup yang senantiasa sama.
Fajar merekah, bersamaan dengan azan subuh, Mbah Setro bangun.Khatijah,istrinya, menyiapkan teh panas. Sehabis minum teh, Mbah Setro menyunggi keranjang arang di atas kepalanya. Lalu pergilah ia meninggalkan desanya, Suko, Kelurahan Seloarjo, Kecamatan Pundong, Bantul.

IA berjalan berkilo-kilometer panjangnya. Kadang, ia berjalan bahkan sampai ke daerah kota Yogyakarta, seperti Patang Puluhan dan Karangkajen. Baru ketika arangnya laku, ia pulang ke desanya. Jika arangnya cepat laku, ia bisa sampai di rumah lagi sekitar pukul duabelas siang. Namun, kerap juga, sampai azan asar belum juga ia pulang.
"Kalau sampai sore ia belum pulang, saya keluar ke jalan di depan masjid desa. Saya tunggu dia di sana. Ketika terlihat dari jauh ia datang, hati saya lega. Lha bagaimana, namanya kita tinggal hidup berdua saja,"tutur Khatijah. Sesampainya di rumah, Mbah Setro masih bekerja. Ia membakar kayu untuk dijadikan arang.
Biasanya ia dapat menjadikan sekeranjang arang dari dua ikat kayu. Perikat kayu dibelinya dengan harga Rp 5.000. Sekeranjang arang dijualnya Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Jadi, dari sekeranjang arang ia hanya mendapat untung Rp 2.000 sampai Rp 5000. "Itu kalau tidak terjadi apa-apa. Bisa terjadi saya lupa menengok kayu yang sedang diperam jadi arang. Tahu-tahu kayu terbakar, habis, jadi abu," tutur Mbah Setro. Sementara Mbah Setro membakar arang, istrinya menanak nasi dan memasak lauk seadanya.
Setiap kali mau berangkat kerja, Mbah Setro selalu mendoakan rapal doa ini:
Kakang kawah adi ari-ari, dongakna aku slamet, aku arep mlaku,dongakna payu.
Mbah Setro percaya, kakang kawah dan adi ari-ari adalah saudara kandungnya yang tak kelihatan. Dengan doa di atas, ia mohon semoga kedua saudara kandungnya itu selalu menemani perjalanannya, agar ia selamat, dan semoga mereka membantu, agar arangnya laku. Maka, kendati selalu berjalan sendirian sambil menyunggi arang, Mbah Setro tidak pernah merasa sendiri dan kesepian.
Perjalanan panjang sambil membawa beban berat tentulah melelahkan. Apalagi bila panas sedang menyengat, atau hujan sedang turun menderas. "Kalau lelah, ya beristirahat. Kalau hujan, ya berteduh," katanya. Itulah resep sederhana Mbah Setro untuk mengatasi kelelahan dantantangan cuaca di atas.
SUDAH tentu, di tengah jalan Mbah Setro juga dilanda rasa haus dan lapar. Namun, tak pernah ia mengalah untuk memuaskan rasa haus dan lapar itu, misalnya dengan jajan. "Saya khawatir, sekali saya jajan, saya jadi wanuh (terbiasa). Lalu lain kali saya ingin jajan lagi. Uang saya sedikit. Buat jajan, bisa cepat habis," kata Mbah Setro.
"Jangankan jajan, diberi makan atau kue-kue saja ia tidak mau. Kalau toh mau, ia mengambil kuenya saja untuk dibawa pulang," tutur Khatijah.
Praktis, Mbah Setro seperti berpuasa setiap hari. Pada saat subuh, iahanya minum teh panas walau sering tersedia nasi dan lauk, sisamakananmalam hari. Sepanjang perjalanan, ia tidak makan dan minum, sampai iapulang kembali ke rumah. Baru pada petang hari ia mengisi perutnya. Jadi, ia hanya makan sekali sehari. Uniknya, pada masa puasa, ia malah makan dua kali. Selain pada petang hari, ia juga makan pada saat sahur,sekalian menyiapkan diri untuk berjualan arang.
Pernah terjadi, suatu hari di daerah Karangkajen, Yogyakarta, ia dilanda rasa haus luar biasa. Kebetulan ia berjumpa dengan anaknya yang kedua, Tukiman, yang menjadi tukang becak. Ia minta minum, dan Tukiman membelikan air minum dalam kemasan untuknya. "Dalam perjalanan pulang, saya buka tutupnya, lalu saya incipi, eh ternyata rasanya kok cuma anyep, seperti air biasa," kata Mbah Setro. Mbah Setro ternyata belum mengenal air minum dalam kemasan.
Mbah Setro sadar, berjualan itu tidak selalu lancar. Pernah ia ditipu.Ia setor arang sampai enam keranjang kepada seorang bakul hanya dibayar satu keranjang.
Pernah juga Mbah Setro kecelakaan. Hari itu ia mendapat pesanan arang. Lain daripada biasanya, kali ini ia tidak menyunggi, tetapi memikul arang. Ia membatin, hari ini ia akan mendapat rezeki lebih besar. Ternyata di tengah jalan ia ditabrak mobil. Arangnya berantakan, dan ia terjepit di antara roda belakang. Ia lalu dirawat di rumah sakit, dan dibawa ke sangkal putung. Sekarang punggungnya tidak sesehat dulu.
MESKI miskin, suami istri Setrowikromo merasa tidak berkekurangan. Mereka juga tidak pernah meminta uang dari ketiga anaknya. "Untuk kamiberdua, segelas beras sudah cukup. Yang mesti kami pikirkan, bagaimanamenyumbang tetangga yang mempunyai hajatan," tutur Khatijah, yangsehari-hari mencari dan menjual daun pohon jati untuk tambahan nafkah.
Maka beginilah mereka mengatur ekonominya. Penghasilan Mbah Setro disimpan untuk jaga-jaga kalau harus menyumbang hajatan di desanya. Untuk sehari-hari mereka mencukupkan diri dengan hasil Khatijah menjual daun jati.
Tiap hari Khatijah bisa mengumpulkan dan menjual empat atau lima ikat daun jati. Per ikat harganya Rp 700 atau Rp 800. Mesti mereka miskin, mereka mesti menyumbang Rp 20.000 sampai Rp 25.000 setiap kali ada hajatan.
"Masak kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayamnya kami tega memakannya begitu saja?" jawab Khatijah.
Hidup jujur, tidak mengambil milik orang lain, hanya itulah yang setiap hari diminta Mbah Setro dan istrinya. Tiap hari Mbah Setro menyunggi arang. Upayanya ini seakan sia-sia karena tak membuahkan apa-apa. Tapi justru dalam upayanya itu tersimpan penghargaannya yang dalam terhadap hidup ini: bahwa hidup ini harus dijalani dengan tekun, jujur, dan sungguh-sungguh, kendati rasanya hanya sia-sia belaka.




Tidak ada komentar: